Lihat Bisnis ABgroup yang lain :

Tampilkan postingan dengan label Fiqih dan Syariah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih dan Syariah. Tampilkan semua postingan

Latar Belakang Pentingnya Bersuci

Perintah Bersuci di Al Qur’an dan Hadits

Thaharah hukumnya wajib berdasarkan Alquran dan sunah. Allah Taala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian, dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Maidah: 6).


Allah juga berfirman, “Dan, pakaianmu bersihkanlah.” (Al-Mudatstsir: 4).
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Al-Baqarah: 222).

Rasulullah bersabda (yang artinya), “Kunci salat adalah bersuci.” Dan sabdanya, “Salat tanpa wudu tidak diterima.” (HR Muslim). Rasulullah saw. Bersabda, “Kesucian adalah setengah iman.” (/I)(HR Muslim).

Jenis-jenis Bersuci (Thaharah)

Thaharah itu terbagi menjadi dua bagian: lahir dan batin. Thaharah batin adalah membersihkan jiwa dari pengaruh-pengaruh dosa dan maksiat dengan bertobat dengan sebenar-benarnya dari semua dosa dan maksiat, dan membersihkan hati dari kotoran syirik, ragu-ragu, dengki, khianat, sombong, ujub, riya, dan sum’ah dengan ikhlas, yakin, cinta kebaikan, lemah lembut, benar, tawadu, dan mengharapkan keridaan Allah SWT dengan semua niat dan amal saleh.

Adapun thaharah lahir adalah bersuci dari najis dan dari hadats (kotoran yang bisa dihilangkan dengan wudu, mandi, atau tayammum).

Thaharah dari najis adalah menghilangkan najis dengan air yang suci, baik dari pakaian orang yang hendak salat, badan, ataupun tempat salatnya. Thaharah dari hadats adalah dengan wudu, mandi, atau tayamum.

Sarana Untuk Bersuci

Thaharah bisa dilakukan dengan dua hal.
1. Air mutlak, yaitu air asli yang tidak tercampuri oleh sesuatu apa pun dari najis, seperti air sumur, air mata air, air lembah, air sungai, air salju, dan air laut, berdasarkan dalil-dalil berikut. “Dan Kami turunkan dari langit air yang amat suci.” (Al-Furqan: 48). Rasulullah saw. bersabda, “Air itu suci, kecuali bila sudah berubah aromanya, rasanya, atau warnanya karena kotoran yang masuk padanya.” (HR Al-Baihaqi. Hadits ini dhaif, namun mempunyai sumber yang sahih).
2. Tanah yang suci, atau pasir, atau batu, atau tanah berair. Rasulullah saw. bersabda, “Dijadikan bumi itu sabagai masjid dan suci bagiku.” (HR Ahmad). Tanah dijadikan sebagai alat thaharah jika tidak ada air, atau tidak bisa menggunakan air karena sakit, dan Karena sebab lain. Allah berfirman, “…kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah kalian dengan tanah yang suci.” (An-Nisa: 43).

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya tanah yang baik (bersih) adalah alat bersuci seorang muslim, kendati ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Jika ia mendapatkan air, maka hendaklah ia menyentuhkannya ke kulitnya.”(HR Tirmizi, dan ia menghasankannya).

“Rasulullah saw. mengizinkan Amr bin Ash r.a. bertayammum dari jinabat pada malam yang sangat dingin, karena ia menghawatirkan keselamatan dirinya jika ia mandi dengan air yang dingin.” (HR Bukhari).

Penjelasan tentang Hal yang Najis

Hal-hal yang najis adalah setiap yang keluar dari dua lubang manusia, berupa tinja dan air kencing, atau mazi (lendir yang keluar dari kemaluan karena syahwat), atau wadi (cairan putih yang keluar selepas kencing), atau mani, air kencing, dan kotoran hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan, darah, nanah, air muntahan yang telah berubah, bangkai dan organ tubuhnya kecuali kulitnya, karena jika disamak kulitnya menjadi suci. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kulit yang sudah disamak, maka menjadi suci.” (HR Muslim).

Sumber: Minhajul Muslim, Abu Bakar Jabir Al-Jazairi (Alislam.or.id)




AddThis Social Bookmark Button






Menangisi Kematian Dalam Tinjauan Islam

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallaahu anhu ia pernah berkata: Pada peperangan Uhud ayahku terbunuh, akupun menyingkap kain dari wajahnya dan menangis. Orang-orang melarangku namun Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam tidak melarang, kemudian bibiku Fathimah ikut menangis lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Engkau tangisi atau tidak malaikat akan terus menaunginya dengan sayap-sayap mereka sampai kalian mengusungnya.” (Muttafaq ‘alaih).

Kemudian dari Ibnu Umar diriwayatkan bahwa ia berkata: “Saad bin Ubadah pernah sakit keras. Nabi datang menjenguknya bersama Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash serta Abdullah bin Mas’ud Radhiallaahu anhu. Ketika beliau masuk Saad sudah dikerubungi keluarganya, beliau lalu bertanya: “Apakah ia sudah tiada?” mereka menjawab: “Belum wahai Rasulullah. “Maka beliaupun menangis dan ketika orang-orang melihat Nabi menangis merekapun menangis. Beliau bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya Allah itu tidak menyiksa karena tetesan air mata kesedihan hati, tetapi Allah hanya akan menyiksa karena ini, (beliau menunjuk kearah lidahnya) atau Allah akan mengampuninya.” (HR. Al-Bukhari)
Sementara itu shahabat Anas bin Malik Radhiallaahu anhu juga pernah meriwayatkan ketika putra Rasulullah Ibrahim akan meninggal, ia datang menemui Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam sedangkan Ibrahim nafasnya sudah terengah-engah, maka kedua mata beliaupun berlinang air mata.

Dalam riwayat lain disebutkan beliau mengambilnya dan meletakkannya di atas pangkuan sambil berkata: “Wahai anakku! Aku tidak memiliki hak kuasa apapun yang dapat kuberikan kepadamu di sisi Allah”. Melihat Nabi menangis Abdurrahman bin Auf dan Anas radhialallhuanhu lalu bertanya: “Wahai Rasulullah mengapa Anda menangis? Bukankah Anda telah melarang menangis?’ Beliau menjawab : “Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya tangisan itu adalah rahmat, dan barangsiapa tidak memiliki kasih sayang maka ia tidak mendapatkan kasih sayang”, kemudian beliau melanjutkan sabdanya: “Sesungguhnya mata bisa berlinang, hati juga bisa berduka namun kita hanya bisa mengucapkan yang diridhai Rabb kita. Wahai Ibrahim, sungguh kami sangat bermuram durja karena berpisah denganmu.” (HR. Al-Bukhari dan Mus-lim)

Dalam riwayat lain Anas menutur-kan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda, artinya : “Zaid mengambil panji peperangan kaum muslimin kemudian ia terbunuh, lalu panji diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah dan iapun terbunuh, kemudian diambil alih lagi oleh Ja’far dan ia juga terbunuh.” Kedua mata Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam berlinang air mata. Setelah itu panji diambil alih oleh Khalid bin Walid tanpa adanya penyerahan sebelumnya, namun melalui tangannya Allah Subhannahu wa Ta’ala memberi kemenangan.” (HR Al Bukhari).

Dalam riwayat Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu disebutkan bahwa ketika Zainab putri Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam wafat maka sebagian kaum wanita ada yang menangis, maka ketika Umar Radhiallaahu anhu mau memukul para wanita itu dengan cemetinya, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mencegahnya kemudian beliau bersabda, artinya: “Sabar wahai Umar! Kemudian kalian semua para wanita hendaklah berhati-hati terhadap teriakan setan!” Beliau lalu melanjutkan sabda-nya, artinya: “Apabila hanya berasal dari mata dan hati maka itu dari Allah dan merupakan rahmat, namun jika itu dari tangan dan mulut maka ia dari setan.” (HR. Ahmad)

Aisyah Radhiallaahu anha pernah meriwayatkan bahwa ketika Sa’ad bin Muadz meninggal, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam , Abu Bakar dan Umar melayatnya. Aisyah berkata: “Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku bisa membedakan antara tangisan Abu Bakar dengan tangisan Umar sementara aku berada di kamarku.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad).

Ada riwayat lain tentang kisah meninggalnya putra Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam yang bernama Ibrahim, yakni sebagaimana disampaikan oleh Asma’ binti Yazid Radhiallaahu anha, dia bercerita: “Ketika Ibrahim putra Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam wafat, beliau menangis. Kemudian Abu bakar -atau mungkin Umar- bertanya: “Wahai Rasulullah, Engkau adalah orang yang paling berhak untuk dimuliakan haknya oleh Allah.” Maka beliau bersabda: “Mata bisa menangis, hati boleh bersedih, namun kita hanya mengucapkan yang diridhai Ilahi. Kalaulah bukan janji yang benar, tempat kembali yang sempurna dan akherat yang pasti datang setelah berlalunya dunia, pasti kami sudah mendapatkan hal yang paling berat dengan kepergianmu. Sungguh kami amat berduka karenamu.” (HR. Ibnu Majah)

Dalil-dalil di atas merupakan alasan bagi mereka yang membolehkan menangis atas orang yang akan meninggal maupun yang telah meninggal. Demikian pendapat madzhab Ahmad bin Hambal dan Abu Hanifah. Sedangkan Imam Syafi’i dan banyak kalangan shahabat melarang menangisi mayit setelah meninggalnya, dan membolehkan menangis ketika belum meninggal.

Alasan yang digunakan adalah riwayat Jabir bin Atik Radhiallaahu anhu, ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menjenguk Abdullah bin Tsabit Radhiallaahu anhu beliau mendapatinya sudah hampir meninggal dunia. Rasulullah memanggilnya namun Abdullah sudah tidak menjawab lagi, kemudian beliau mengucap istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) seraya bersabda, artinya: “Kami terlambat mendatangimu wahai Abu Rabi.” Maka kalangan wanitapun menangis, dan Ibnu Atik berusaha untuk mendiamkan mereka, namun Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, artinya: “Biarkan saja mereka. Apabila datang kepastian maka janganlah ada yang menangis lagi.” Ibnu Atik bertanya: “Apa kepastian itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kematian” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, hadits ini sesuai lafazh Abu Dawud).
Ini menujukkan larangan menangisi orang yang telah meninggal dan kebolehannya sebelun meninggal. Larangan tersebut diperkuat dengan hadits shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah Ibnu Umar Rasulullah Shalallahu’alahi wassalam bersabda: “Sesungguhnya orang meninggal akan tersiksa oleh tangisan keluarganya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kata al-mayit di sini menunjukkan bahwa ia telah meninggal dunia karena orang yang belum meninggal tidak bisa dikatakan sebagai mayit. Selain itu Ibnu Umar Radhiallaahu anhu juga meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam datang dari Uhud pernah mendengar kalangan wanita dari Bani Asyhal menangisi orang yang meninggal, maka beliau bersabda: “Tetapi Hamzah tidak ada yang menangisinya.” Maka datanglah kalangan wanita dari Al-Anshar lalu menangisi Hamzah di sisi Nabi. Maka Rasulullah bangkit dan bersabda, artinya: “Celaka mereka, mengapa mereka menangis di sini, sungguh mereka telah membikin susah diri sendiri. Suruh mereka semua pulang kemudian janganlah mereka menangisi orang yang meninggal setelah hari ini.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Bagaimana kita menyikapi masalah ini?Kedua pendapat di atas sama-sama menyampaikan dalil dan alasan yang shahih, oleh karena itu kita tetap harus menerimanya tanpa menyalahkan pihak manapun. Mereka adalah para imam mujtahid yang sudah diakui kredibilitasnya. Yang terpenting kita bisa me-nempatkan masalah ini sesuai porsinya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya menangisi orang yang meninggal tidaklah mengapa baik itu sebelum meninggal maupun setelahnya dengan syarat bahwa tangisan tersebut masih dalam batas-batas yang dibolehkan oleh syariat.
Yaitu tidak disertai dengan teriakan-teriakan atau raungan, ratapan, memukul wajah, merobek pakaian dan sikap-sikap lain yang disebut oleh Nabi berasal dari syetan. Ia hanya sekedar ungkapan rasa sedih dalam hati kemudian diiringi tetesan air mata atau isakan yang tidak ada unsur tidak ridha atau menolak takdir Allah. Adapun dalil tentang larangan menangis yang dikemukakan kita pahami sebagai larangan dari tangisan yang disertai ratapan serta sikap-sikap sebagaimana yang telah disebutkan. Hal ini juga diperkuat dengan riwayat lain yang menyebutkan bahwa sesungguhnya mayit itu akan tersiksa disebabkan ratapan keluarganya , di samping yang menggunakan lafazh tangisan.

Hanya saja perlu dicatat bahwa kesedihan itu tidaklah diperintahkan meski dibolehkan dan jika kesedihan itu menjurus kepada kelemahan hati dan menjauhkan dari melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya maka ia adalah tercela. Sebaliknya jika kesedihan itu diiringi dengan perbuatan-perbuatan terpuji yang mengandung pahala maka ia menjadi perbuatan terpuji, hanya saja pahala tersebut bukan disebabkan kesedihan itu namun karena perbuatan baik yang ia kerjakan.

Dalam banyak ayat Allah menyuruh kita agar jangan bersedih seperti dalam firman-Nya,artinya: “Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya).” (Ali Imran: 139). Dan masih banyak ayat-ayat lain yang senada dengan ayat di atas. Wallahu a’lam.

(Rujukan: Hiburan bagi orang yang tertimpa musibah, Darul Haq [Fatkur Isma’il])



AddThis Social Bookmark Button


Penjagaan Buat si Kecil di Waktu Malam

Datangnya malam usai matahari tenggelam hingga datangnya waktu ‘Isya adalah saat bertebarnya para setan. Tak heran jika rutinitas masyarakat semisal aktivitas jual beli justru mengalami puncak keramaian (baca: godaan) nya di waktu ini. Sesungguhnya agama mulia yang sempurna ini telah mensyaratkan kepada kita utamanya anak-anak kita untuk tidak keluar rumah di waktu-waktu ini.
Matahari senja baru saja tenggelam di ufuk barat. Malam pun merambat datang sementara kegelapan perlahan mulai menyelimuti bumi. Tampak beberapa anak kecil sedang bermain, berkejaran di pekarangan sebuah rumah. Sesekali, mereka berlari ke jalanan kampung. Di teras sebuah rumah, seorang ibu terlihat tengah meninabobokan bayinya, beralasan “mencari angin” karena si bayi kepanasan di dalam rumah.

Gambaran ini, yakni keluarnya anak kecil ketika malam mulai datang adalah pemandangan biasa yang kita jumpai di sekitar kita, di masyarakat kita yang awam dan jauh dari bimbingan agama. Anak-anak mereka dibiarkan begitu saja, tanpa pencegahan dan tanpa penjagaan. Tahukah mereka bahwa pada saat yang demikian itu setan, makhluk yang jahat, musuh manusia, bertebaran sehingga dapat memudharatkan anak-anak tersebut dengan ijin Allah Subhanahu wa Ta’ala?

Belumkah sampai pada mereka bimbingan dari Rasul mereka yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam titah beliau yang agung:
“Apabila malam telah datang (setelah matahari tenggelam), tahanlah anak-anak kalian, karena setan bertebaran ketika itu. Apabila telah berlalu sesaat dari waktu ‘Isya lepaskanlah (biarkanlah) mereka, tutuplah pintumu, dan sebutlah nama Allah (mengucapkan bismillah pen.)…” (HR. Al-Bukhari No. 3280 dan Muslim No. 2012)

Maksud dari kalimat di atas adalah jika kegelapan malam, yakni datangnya malam setelah matahari tenggelam maka tahanlah anak-anak untuk keluar pada waktu tersebut karena dikhawatirkan mereka akan diganggu oleh setan yang banyak berkeliaran pada saat itu. (Syarah Shahih Muslim 14/185-186, Fathul Bari 6/411)
Belumkah pula sampai pada mereka larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang semakna dengan perintah dalam hadist di atas:

“Janganlah kalian melepas hewan-hewan ternak dan anak-anak kalian apabila matahari telah tenggelam hingga berlalu fahmah isya karena para setan keluar/berjalan cepat apabila matahari tenggelam sampai berlalu fahmah isya.” (HR. Muslim No. 2013)

Kalimat (fahmah isya) dalam hadist di atas maknanya adalah gelap dan hitamnya malam, atau datangnya malam dan awal gelapnya. (Syarah Shahih Muslim 14/186). Sebagian ahlul ilmi memaknainya dengan datangnya waktu ‘Isya dan awal gelapnya. Kegelapan antara shalat Maghrib dan ‘Isya diistilahkan fahmah sedangkan antara shalat ‘Isya dengan shalat Shubuh diistilahkan ‘as’asah. (Nihayatul Gharib , 3/317)
Dalam hadist Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di atas, jelas sekali beliau memberi bimbingan agar anak-anak tidak dibiarkan keluar rumah, tapi ditahan di dalam rumah, ketika matahari telah tenggelam dan malam telah datang dengan kegelapannya. Bimbingan ini beliau berikan untuk menjaga anak-anak dari gangguan setan karena di waktu tersebut setan banyak bertebaran.

Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata:
“Dalam hadist ini terdapat sejumlah kebaikan dan adab yang mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan umatnya untuk melakukan adab-adab ini karena dengan melakukannya berarti menempuh sebab keselamatan dari gangguan setan. Setan tidak dapat membuka pintu yang tertutup dan tidak dapat pula mengganggu anak kecil dan selainnya apabila dilakukan perkara ini (dengan menyebut nama Allah/mengucapkan bismillah).” (Syarah Shahih Muslim, 14/185)

Ibnul Jauzi Rahimahullah menyatakan bila anak-anak kecil berkeliaran di luar rumah pada waktu tersebut dikhawatirkan mereka akan mendapat gangguan dari setan sementara anak-anak umumnya belum dapat berzikir dimana dengannya bisa membentengi diri mereka dari setan. Setan ini ketika bertebaran mereka bergantungan dengan apa yang memungkinkan bagi mereka untuk bergantung. (Fathul Bari, 6/411)

Dari hadist di atas, kita pun mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan menutup pintu rumah dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menghalangi masuknya setan yang akan membawa kemudharatan bagi penghuni rumah. Bila pintu telah ditutup dengan mengucapkan bismillah, setan tidak akan mampu membukanya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Setan tidak dapat membuka pintu yang tertutup.” (HR. Al-Bukhari No. 3304 dan Muslim No. 2012)
Ibnu Daqiqil ‘Ied Rahimahullah berkata: “Dalam perintah menutup pintu ada maslahat diniyyah dan duniawiyyah (kebaikan dunia dan akhirat) berupa penjagaan jiwa dan harta dari ahlul batil dan pembuat kerusakan terlebih lagi dari para setan. Adapun hadist Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Setan tidak dapat membuka pintu yang tertutup”
Merupakan isyarat bahwa perintah menutup pintu bertujuan untuk menjauhkan setan dari bercampur baur dengan manusia.”
Beliau Rahimahullah juga menyatakan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengabarkan bahwa setan tidak diberi kekuatan untuk melakukan sesuatu pun dari perkara yang disebutkan dalam hadist (seperti membuka pintu yang tertutup, bejana yang tertutup, dsb, pen.) walaupun ia diberi kekuatan yang lebih besar daripada itu seperti masuk ke tempat-tempat yang tidak mampu dimasuki manusia.” (Fathul Bari, 11/90)

Al-Mubarakfuri Rahimahullah menyatakan bahwa setan ini bisa dikatakan tertolak untuk masuk ke rumah seseorang dari seluruh sisinya dengan barakah tasmiyah (ucapan bismillah). Dalam hadist hanya disebutkan perintah menutup pintu (dengan membaca bismillah) karena pintu merupakan bagian yang paling mudah untuk dilalui ketika masuk ke dalam rumah. Bila setan ini tertolak untuk masuk lewat pintu (karena pintunya tertutup dengan mengucapkan bismillah) maka tentunya setan ini lebih tertolak lagi untuk masuk ke dalam rumah lewat bagian rumah yang lebih sulit dilalui. (Tuhfatul Ahwadzi, 5/433)

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Rahimahullah berkata: “Menyebut nama Allah akan memisahkan setan dari melakukan perkara-perkara yang disebutkan. Dengan demikian, bila tidak disebut nama Allah, setan bisa melakukan perkara-perkara tersebut. Yang menguatkan hal ini adalah hadist yang dikeluarkan oleh Muslim1 dan Al-Arba’ah2 dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘anhu secara marfu’ 3:

“Apabila seseorang masuk ke rumahnya dalam keadaan berzikir kepada Allah ketika masuknya dan ketika memakan makannya, berkatalah setan: Tidak ada tempat bermalam bagi kalian dan tidak ada makan malam. Kalau orang itu masuk rumah, dia tidak berzikir ketika masuknya, berkatalah setan: Kalian mendapatkan tempat bermalam. Dan bila dia tidak berzikir ketika makan, berkatalah setan: Kalian mendapatkan tempat bermalam dan makan malam.” (Fathul Bari, 11/90)

Duhai, alangkah jauhnya lingkungan kita dan masyarakat kita dari mengamalkan tuntunan agama ini. Semoga dengan membaca nasehat ini, mereka mendapatkan ilmu dan pemahaman, yang kemudian mereka amalkan dalam kehidupan mereka, amin… Allah sajalah yang memberi taufik!!!


Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 No. 2018.

2 Yaitu At-Tirmidzi, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah.

3 Sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. II/No. 15/1426 H/2005, Rubrik Mutiara Kata, Hal. 76-78.
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah

ABgroup Corporate

http://www.asikinbusiness.blogspot.com/ http://www.mypulsa-abgroup.blogspot.com/ http://www.kaligrafikuningan.blogspot.com/http://www.jilbab-abgroup.blogspot.com/ http://www.1st-abgroup.blogspot.com/ http://www.nida-collection.blogspot.com/


AddThis Social Bookmark Button

Ilmu Yang Pertama Kali Dicabut Dari Muka Bumi Ini

Sabda Rasulullah SAW :“Pelajarilah ilmu faraidh, karena ia termasuk bagian dari agamamu dan setengah dari ilmu. Ilmu ini adalah ilmu yang akan pertama kali dicabut dari umatku”(HR. Ibnu Majah, al-Hakim, dan Baihaqi)
Apakah ilmu Faraidh ?
Ilmu Faraidh adalah ilmu waris yang meliputi 3 aspek :
1. Tentang SIAPA yang menjadi ahli waris (penerima harta warisan)
2. Tentang RUMUS PEMBAGIAN untuk setiap ahli waris
3. Tentang CARA MENGHITUNG harta warisanMengapa ilmu Faraidh begitu Penting ?
1. Ilmu faraidh adalah setengah dari ilmu yang primer (utama) untuk dipelajariIni sesuai dengan hadits dibawah ini :Sabda Rasulullah SAW : “Pelajarilah ilmu faraidh, karena ia termasuk bagian dari agamamu dan setengah dari ilmu. Ilmu ini adalah ilmu yang akan pertama kali dicabut dari umatku” (HR. Ibnu Majah, al-Hakim, dan Baihaqi)Dan juga sabda Rasulullah SAW : “Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan (sekunder), yaitu ayat-ayat muhakkamah (yang jelas ketentuannya), sunnah Nabi saw yang dilaksanakan, dan ilmu faraidh” (HR. Ibnu Majah)
2. Mempelajari ilmu Faraidh mengandung ratusan kebajikanAl-Futuhiy dalam syarahnya atas buku ‘Ala Muntaha al-Iradah, dan a-lButuhiy dalam syarahnya atas buku al-Iqna : “..mempelajari satu masalah dalam ilmu faraidh mempunyai ratusan kebajikan, sedangkan selainnya hanya sepuluh kebajikan…”
3. Allah swt secara langsung (tidak melalui nabi & rasul) menjelaskan ilmu Faraidh secara rinci kepada umat manusia (dalam al-Qur’an). Ini seperti tercatat dalam salah satu sabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya Allah swt tidak mewakilkan pembagian harta waris kalian kepada seorang nabi atau rasul-Nya maupun raja yang luhur, tetapi Dia menguasakan penjelasannya sehingga membaginya dengan sejelas-jelasnya” Allah swt juga menjelaskan ilmu Faraidh sedemikian rinci, lengkap dengan rumus pembagian warisan, syarat-syarat ahli waris, dan sekurang-kurangnya ada 9 ayat yang menjelaskan masalah faraidh secara panjang lebar dan rinci dalam al-Qur’an.
4. Ilmu Faraidh adalah ilmu yang pertama kali dicabut sebelum kiamat tibaSabda Rasulullah SAW : “Pelajarilah ilmu faraidh serta ajarkanlah kepada orang lain, karena sesungguhnya ilmu faraidh setengahnya ilmu; ia akan dilupakan, dan ia ilmu pertama yang akan diangkat dari umatku” (HR. Ibnu Majah dan ad-Darquthni)
5. Penyebab munculnya dunia yang dipenuhi fitnahSabda Rasulullah SAW : “Pelajarilah ilmu faraidh serta ajarkanlah kepada orang-orang, karena aku adalah orang yang akan direnggut (mati), sedang ilmu itu angkat diangkat dan fitnah akan tampak, sehingga dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan, mereka berdua tidak menemukan seorangpun yang sanggup melerai mereka” (HR. Imam Ahmad, at-Tirmidzi, al-Hakim)
6. Penyebab munculnya dunia yang penuh kekacauan dan kerusakanPenjelasan seorang sahabat Rasul saw, Ibnu Abbas ra, bahwa urgensi menghidupkan ilmu Faraidh tercermin dalam firman Allah swt dalam surat al-Anfaal 8:73, Al-Qur’anul Karim : “Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar”
Mengapa Ilmu Faraidh Ditinggalkan ?
1. Pembicaraan mengenai warisan adalah masalah sensitifPandangan salah anggota keluarga :“Orangtua kita sedang sekarat…ini bukan saat yang pantas membicarakan soal harta warisan . . .”“Ia selalu paling semangat membicarakan warisan. . mungkin ia ingin cepat orangtuanya mati…””Orang tuanya belum mati aja sudah pada ribut bicarain warisan..”
2. Masalah pembagian warisan dianggap tidak pentingPandangan salah calon penghuni kubur :“Hartaku tidak seberapa, apa yang bisa saya bagi, anakpun saya sudah pada mandiri…”“Ahh..itukan urusan keturunan saya, nanti saja mereka bicarakan kalau saya sudah dalam kubur..”“Di lingkungan saya, semuanya soleh, sudah kaya, tidak materialis… kalaupun ada pembagian warisan yang tidak adil, umumnya mereka rela-rela aja… (catatan : pembagian waris bukan persoalan rela tidak rela, tapi pembagian sesuai ketentuan syariah)
3. Karena ilmunya dianggap sudah jelas (mudah dipelajari) namun membosankan untuk dipejari (karena banyak rumus yang rumit), sehingga membuat generasi muda sering enggan mempelajarinya.
Apakah Ilmu Faraidh sudah mulai ditinggalkan umat ?
1. Pandanglah ke sekeliling kita, minimal ke keluarga kita sendiri, hampir tidak ada masalah warisan yang tidak menjadi masalah keluarga. Bukan masalah rela- tidak rela, tapi apakah yang meninggalkan dunia dan yang ditinggalkan oleh yang wafat sudah memahami cara pembagian wasiat menurut syariah atau sudahkan ditinggalkan surat wasiat dengan baik dan benar?
2. Di Malaysia setiap orang wafat tanpa meninggalkan surat wasiat maka harta waris memerlukan proses hukum 5 hingga 10 tahun dan sering akhirnya tidak diproses hingga disita negara. Dilaporkan bahwa di Malaysia ada sekitar Rp. 7 ribu triliun harta waris yang tertunda penyerahannya ke ahli waris karena ahli waris tidak ditinggalkan surat wasiat oleh keluarganya yang wafat.
3. Di Indonesia, ilmu faraidh bisa lebih cepat lagi ditinggalkan umat, karena tanpa meninggalkan surat wasiat yang baik dan benarpun, ahli waris (keluarganya) dengan mudah melakukan pembagian warisan. Yang ada di Indonesia hanya hambatan internal keluarga, sedangkan hambatan hukum relatif lebih mudah diselesaikan bahkan cukup di kantor kecamatan.
Hal ini membuat masyarakat semakin tidak merasakan urgensi membuat surat wasiatBenteng Kasih Sayang Terakhir, Akhirnyapun Jebol Sungguh benteng terakhir kasih sayang, yang memiliki tali ikatan yang paling kuat adalah tali kasih sayang seseorang kepada orang tuanya, anaknya dan saudara kandungnya. Sungguh masih ada sebutan ’mantan istri’ , tapi tidak untuk ’mantan anak’ atau ’mantan adik’ . Sungguh begitu sering masalah pembagian harta waris menimbulkan banyak perpecahan di keluarga sekitar kita.
Seorang abang yang begitu sayangnya pada adiknya, tiba-tiba berubah total dan memandang adiknya sebagai mahluk yang ganas, serakah dan egois ketika almarhum ayahnya meninggal dunia dengan meninggalkan surat wasiat yang menurutnya tidak adil. Bahkan begitu banyak berita fakta di media massa, yang menceritakan seorang anak membunuh ibu kandungnya sendiri karena masalah warisan.
Sungguh jenazah yang didalam kubur ikut menderita dan tersiksa ketika tidak meninggalkan wasiat yang sesuai syariah, atau meninggalkan keluarga yang bertengkar karena warisan, kecuali sang jenazah sudah pernah mengajarkan dan memberitahu keluarganya mengenai ilmu faraidh atau bahwa keluarganya sudah memahami bahwa wasiat yang dibuatnya sudah sesuai dengan faraidh.
(sumber : Hukum Waris, Fakultas Syariah, I\Univ. Al-Azhar, dan sumber lain)
ABgroup Corporate






AddThis Social Bookmark Button

Tanda-Tanda Baligh

TANDA-TANDA BALIGH UNTUK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Bagi ikhwah dan akhawat yang mempunyai adik atau saudara, yang telah mempunyai anak, atau bagi calon bapak/ibu yang akan menikah; ada baiknya kita perhatikan tanda-tanda baligh berikut sebagaimana yang tercantum dalam syari’at. Baligh adalah satu masa di mana seorang anak dibebani kewajiban (taklif) syari’at dan akan dihisab yang mana baligh mempunyai tanda-tanda yang dapat dikenal,yaitu :

Tanda-Tanda Baligh untuk Laki-Laki
1. Ihtilam, yaitu keluarnya mani baik karena mimpi atau karena lainnya.
Dalilnya disebutkan dalam Al-Qur’an, dimana Allah ta’ala berfirman :ﻢﻬﻠﺒﻗ ﻦﻣ ﻦﻳﺬﺍ ﻥﺬﺌﺘﺳﺍ ﺎﻤﻛ ﺍﻮﻧﺬﺌﺘﺴﻴﻠﻓ ﻢﻠﺤﻟﺍ ﻢﻜﻨﻣ ﻝﺎﻔﻃﻷﺍ ﻎﻠﺑ ﺍﺫﺇ
”Dan bila anak-anakmu telah sampai hulm (ihtilam), maka hendaklah mereka meminta ijin seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta ijin”.
Dari Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu ia berkata,”Aku hafal (perkataan) dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : Tidak (dinamakan) yatim bila telah ihtilam dan tidak boleh diam seharian hinga malam” (HR. Abu Dawud 2873 dengan sanad hasan; Irwaaul-Ghaliil 1244; Shahiih Al-Jaami’ Ash-Shaghiir 2/7609).
Dari Ali juga dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :ﻦﻋﻭ ﻢﻠﺘﺤﻳ ﻰﺘﺣ ﻲﺒﺼﻟﺍ ﻦﻋﻭ ﻆﻘﻴﺘﺴﻳ ﻰﺘﺣ ﻢﺋﺎﻨﻟﺍ ﻦﻋ : ﺔﺛﻼﺛ ﻦﻋ ﻢﻠﻘﻟﺍ ﻊﻓﺭﻞﻘﻌﻳ ﻰﺘﺣ ﻥﻮﻨﺠﻤﻟﺍ”Diangkat pena (tidak dikenakan kewajiban) pada tiga orang : orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal” (HR. Abu Dawud 12/78/4380 dan Tirmidzi 1423 dengan sanad shahih; lihat Shahiih Al-Jaami’ Ash-Shaghiir 1/3513).
Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda kepada Mu’adz,”Ambillah dari setiap orang yang telah ihtilam satu dinar” (HR. Nasa’I 2450, Baihaqi dalam Al-Kubra 19155, dan Ahmad 21532).

2. Tumbuhnya Rambut Kemaluan
Dari ‘Athiyyah ia berkata : “Kami dihadapkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pada hari Quraidhah (peristiwa pengkhianatan Bani Quraidhah), di situ orang yang sudah tumbuh bulu kemaluannya dibunuh, sedang orang yang belum tumbuh dibiarkan. Aku adalah orang yang belum tumbuh maka aku diabiarkan”(HR. Abu Dawud 4404, Tirmidzi 1584, Nasa’I 3429, Ibnu Majah 2541, dan Ahmad 4/310; dishahihkan oleh Tirmidzi).
Dalam satu lafadh disebutkan,”Maka orang yang telah ihtilam atau telah tumbuh rambut kemaluannya dibunuh, sedangkan yang belum dibiarkan”(HR. Ahmad 3/383, Nasa’I 3430, dan Hakim 4/390).
Dalam lafadh lain : “Aku adalah seorang pemuda di hari Sa’ad bin Mu’adz menghukum Bani Quraidhah dengan dibunuhnya orang yang ikut berperang dan ditawan keturunannya. Mereka melaporkan aku, tapi mereka tidak mendapati bulu kemaluanku, makanya aku sekarang di tengah-tengah kalian” (Tarbiyatul-Aulad fil-Islaam halaman 270).
Dari Samurah bin Jundub bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Bunuhlah orang-orang tua dari kalangan kaum musyrikiin dan biarkanlah syarkh”. (HR. Ahmad 20021, Abu dawud 3/54/2670, dan Tirmidzi 4/145/1583 dengan sanad hasan. Syarkh adalah anak-anak yang belum tumbuh bulu kemaluannya).

Dari Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma,”Bila seorang anak terkena hukuman hudud lalu dipermasalahkan apakah ia sudah ihtilam atau belu? Maka lihatlah bulu kemaluannya”.
Semua ini menunjukkan bahwa tumbuhnya rambut kemaluan adalah tanda balighnya seseorang, sebagai tanda juga bagi anak-anak kaum muslimin dan orang-orang kafir; dan menunjukkan juga bolehnya melihat aurat orang lain bila diperlukan untuk mengetahui baligh dan tidaknya seseorang serta untuk lainnya (Tuhfatul-Maulud bi Ahkaamil-Maulud oleh Ibnul-Qayyim halaman 210).

3. Ketika Ia Mencapai Usia Lima Belas Tahun
”Seorang anak bila telah berusia lima belas tahun maka diperlakukan hudud (hukuman pidana) buatnya” (HR. Baihaqi dalam Khilafiyaat dari Anas dengan sanad dla’if).
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata,”Untuk waktu ihtilaam tidak ada batas umurnya, bahkan anak-anak yang berusia dua belas tahun bisa ihtilaam. Ada juga yang sampai lima belas tahun, enam belas tahun, dan seterusnya namun belum ihtilaam”.
Para fuqahaa berselisih tentang usia baligh sebagai berikut :
Al-Auza’I, Ahmad, Syafi’I, Abu Yusuf, dan Muhammad berkata,”Bilaman ia telah berusia lima belas tahun, maka ia sudah dikatakan baligh”.
Para shahabat Imam Malik mempunyai 3 (tiga) pendapat :
1. Tujuh belas tahun
2. Delapan belas tahun
3. Lima belas tahun

Sedangkan Abu Hanifah ada dua riwayat :
1. Tujuh belas tahun
2. Delapan belas tahundan bagi anak perempuan itu tujuh belas tahun.
Daud dan para shababatnya berpendapat,”Tidak ada batasan usia. Yang bisa dijadikan batasa adalah ihtilaam, inilah pendapat yang kuat, dan tidak ada pembatasan dari Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam sedikitpun”.
Imam Ahmad mengatakan,”Anak kecil tidak menjadi mahram bagi wanita hingga ia ihtilam”. Beliau mensyaratkan ihtilam.

Tanda-Tanda Baligh untuk Perempuan
Balighnya anak perempuan bisa sama seperti laki-laki, namun ditambah dengan keempatnya, yaitu Haidl, berkembangnya alat-alat untuk berketurunan, serta membesarnya buah dada.
Bila anak sudah hulm/ihtlaam maka ia telah sampai pada usia taklif. Wajib baginya mengerjakan ibadah dan seluruh amalan wajib. Adapun sebelum itu, maka perintah hanyalah sebagai pembiasaan dan menjadikannya suka.

Sumber : Abu Al-Jauzaa’
ABgroup Corporate


AddThis Social Bookmark Button

Macam-Macam air Serta Tata Cara Menghilangkan Najis

Syaikh Muhammad bin Ibrohim Alu Syaikh rahimahullah ditanya tentang hukum pakaian wanita bagian bawah yang terkena najis?
Jawab: Sama hukumnya dengan alas kaki yang terkena najis kemudian mengenai sesuatu yang kering dan sudi, maka sesuatu yang kering dan suci itu akan mensucikan najis itu, ini adalah pendapat yang kuat.1)

Soal: Saya telah berwudlu untuk melakukan sholat, lalu saya membawa seorang bayi, kemudian bayi itu menodai pakaian saya dengan air kencingnya, maka saya mencuci bagian yang terkena air kencing itu lalu saya sholat tanpa mengulangi wudlu. Apakah sholat saya sah?
Jawab: Sholat Anda sah, karena air kencing bayi yang mengenai Anda tidak membatalkan wudlu, akan tetapi Anda wajib mencuci noda yang mengenai Anda.2)

Soal: Ketika seorang wanita melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, selama dalam asuhannya bayi itu selalu bersamanya dan tidak pernah berpisah, sehingga terkadang pakaiannya terkena air kencing sang bayi. Apakah yang harus ia lakukan pada saat itu, dan apakah ada perbedaan hukum pada air kencing bayi laki-laki dengan bayi perempuan dari sejak kelahiran hingga berumur dua tahun atau lebih? Inti pertanyaan ini adalah tentang bersuci dan sholat serta tentang kerepotan untuk mengganti pakaian setiap waktu.
Jawab: Cukup memercikkan air pada pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki jika ia belum mengkonsumsi makanan, jika bayi laki-laki itu telah mengkonsumsi makanan, maka pakaian yang terkena air kencing itu harus dicuci, sedangkan jika bayi itu perempuan, maka pakaian yang terkena air kencingnya harus dicuci baik ia sudah mengkonsumsi makanan ataupun belum. Ketetapan ini bersumber dari hadits yang dikeluarkan oleh Bukhori, Muslim, Abu Daud dan selainnya, sedangkan lafadznya adalah dari Abu Daud. Abu Daud telah mengeluarkan hadits ini dalam sunan-nya dengan sanadnya dari Ummu Qubais bintu Muhshan:”Bahwa ia bersama bayi laki-lakinya yang belum mengkonsumsi makanan datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mendudukkan bayi itu di dalam pakuannya, lalu bayi itu kencing pada pakaian beliau, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta diambilkan air lalu memerciki pakaian itu denga air tanpa mencucinya”. Dikeluarkan oleh Abu Daud dan Ibn Majah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
يَغْسِلُ مِنْ بَوْلِ الجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الغُلاَمِ
“Pakaian yang terkena air kencing bayi perempuan harus dicuci, sedangkan pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan dengan air”.
Dan dalam riwayat lain menurut Abu Daud berbunyi:
يَغْسِلُ مِنْ بَوْلِ الجَارِيَةِ وَيُنْضَحُ مِنْ بَوْلِ الغُلاَمِ مَا لَمْ يَطْعَمُ
“Pakaian yang terkena air kencing bayi perempuan harus dicuci, sedangkan pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki maka diperciki dengan air jika ia belum mengkonsumsi makanan”.3)

Soal: Jika pakaian seorang dokter berlumuran air ketuban atau darah (lahiran), maka apakah diperbolehkan melakukan sholat dengan pakaian tersebut karena kesulitan mengganti pakaian di setiap waktu sholat sebagai konsekwensi pekerjaan itu?
Jawab: Hendaknya ia menyediakan pakaian suci yang khusus ia gunakan untuk sholat sebagai pengganti pakaian yang terkena najis, dan hal itu bukanlah hal yang menyulitkan baginya.4)
Syaikh Muhammad bin Ibrohim Alu Syaikh rahimahullah ditanya tentang hukum air sisa (mandi, pent) yang telah dipergunakan oleh wanita?
Jawab: Sabda beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam (artinya):”Hadats seorang laki-laki tidak dapat dihapuskan dengan air suci sedikit yang telah dipakai wanita untuk mensucikan diri secara sempurna dari hadats”.
Maka menggunakan air ini adalah tidak sempurna, tetapi sebagian besar ulama menyatakan bahwa air yang telah dipergunakan wanita dapat menghilangkan hadats pada tubuh pria berdasarkan hadits dari Maimunah yang berbunyi (artinya):
“Bahwa beliau (shalallahu ‘alaihi wa sallam) berwudlu dengan menggunakan air sisa yang telah ia (Maimunah) pergunakan untuk bersuci”.
Dan untuk memadukan kedua hadits yang saling bertentangan ini, maka larangan yang terdapat pada hadits yang pertama yaitu larangan yang bersifat untuk dijauhi dan bukan berarti diharamkan.5)

Soal: Bagaimanakah yang benar tentang bersucinya seorang pria dengan air sisa yang telah dipakai wanita?
Jawab: Perbedaan pendapat dalam masalah ini cukup dikenal, adapun pendapat sebagian besar ulama dan satu diantara dua riwayat Imam Ahmad: Bahwa tidak dilarang bagi seorang pria untuk bersuci dengan menggunakan air sisa bersuci wanita, apakah itu air sisa dia mandi sendiri ataupun bukan, baik untuk mensucikan hadats besar maupun hadats kecil, ini adalah pendapat yang benar dan sesuai dengan hadits tentang mandinya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan menggunakan sisa air yang telah dipergunakan oleh Maimunah, hadits ini adalah yang lebih shahih dari hadits yang melarang seorang pria untuk mandi dengan air sisa yang telah dipergunakan wanita untuk bersuci. Sebagain ahli ilmu menganggap bahwa hadits terakhir ini adalah tidak benar dan bukanlah hadits shahih, jadi hadits seperti yang terakhir ini tidak dapat dijadikan hujjah untuk membantah adanya dalil syar’I yang bersifat umum yang memerintahkan bersuci dengan air apa saja tanpa pengecualian, maka setiap air yang belum berubah bentuknya karena terkena najis maka air itu termasuk yang umum, dan juga Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا
“lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)”(QS. Al-Maidah: 6).
Ayat ini menjelaskan bahwa tidak boleh bertayamum kecuali jika tidak ada air, dan air sisa dari air yang telah dipergunakan wanita adalah termasuk dalam kategori air, ini adalah suatu hal yang tidak diragukan lagi. Dan Allah Sang pembuat syari’at tidak akan melarang sesuatu tanpa alasan yang jelas (pasti), dan air yang dipergunakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Maimunah ini adalah air yang digambarkan dalam sabda beliau lainnya, yaitu:
إِنَّ المَاءَ لاَ يَجْنُبُ
“Sesungguhnya air itu tidak junub (dikotori suatu apapun)”.
Seandainya seorang pria dilarang untuk bersuci dengan air sisa yang telah dipergunakan oleh wanita, sementara airnya itu banyak disamping adanya kesulitan (untuk memperoleh air lainnya) karena kondisi umumnya demikian, jika larangan itu memang benar pasti larangan itu akan disampaikan dalam nash-nash shahih yang menerangkan masalah ini. Dengan demikian menjadi jelas bahwa pendapat yang benar adalah pendapat yang membolehkan pria bersuci dengan air sisa yang telah dipergunakan wanita. Sedangkan riwayat Imam Ahmad lainnya yaitu pendapat yang sangat dikenal oleh ulama muta’akhirin (sekarang, pent) yang melarang seorang pria untuk bersuci dengan air sisa yang telah dipakai wanita untuk mensucikan hadats, hadits yang mereka mereka pergunakan untuk berdalil adalah hadits yang tidak sah untuk dijadikan dalil dalam masalah ini karena lemahnya hadits ini dan juga bertentangan dengan beberapa dalil-dalil lainnya, demikian juga pengkhususan yang mereka lakukan pada hadats besar saja tidak memiliki dalil yang menunjukkan hal itu.6)

Catatan Kaki:
1) Fatawa wa Rosail Syaikh Muhammad Ibrohim Alu Syaikh 2/92.
2) Fatawa Lajnah Ad-Daimah, 5/286.
3) Idem, 5/368.
4) Idem, 5/384.
5) Fatawa wa Rosail Syaikh Muhammad Ibrohim Alu Syaikh, 2/28.
6) Majmu’ Al-Kamilah Li Mu’alafat, Syaikh Ibn Sa’di 7/88.

Oleh: Abu Muhammad Abdurrahman bin Sarijan
ABgroup Corporate


AddThis Social Bookmark Button

;;