Menangisi Kematian Dalam Tinjauan Islam
Diposting oleh ABgroup [Asikin Business Group] pada 09.30.00Dari Jabir bin Abdullah Radhiallaahu anhu ia pernah berkata: Pada peperangan Uhud ayahku terbunuh, akupun menyingkap kain dari wajahnya dan menangis. Orang-orang melarangku namun Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam tidak melarang, kemudian bibiku Fathimah ikut menangis lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Engkau tangisi atau tidak malaikat akan terus menaunginya dengan sayap-sayap mereka sampai kalian mengusungnya.” (Muttafaq ‘alaih).
Kemudian dari Ibnu Umar diriwayatkan bahwa ia berkata: “Saad bin Ubadah pernah sakit keras. Nabi datang menjenguknya bersama Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash serta Abdullah bin Mas’ud Radhiallaahu anhu. Ketika beliau masuk Saad sudah dikerubungi keluarganya, beliau lalu bertanya: “Apakah ia sudah tiada?” mereka menjawab: “Belum wahai Rasulullah. “Maka beliaupun menangis dan ketika orang-orang melihat Nabi menangis merekapun menangis. Beliau bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya Allah itu tidak menyiksa karena tetesan air mata kesedihan hati, tetapi Allah hanya akan menyiksa karena ini, (beliau menunjuk kearah lidahnya) atau Allah akan mengampuninya.” (HR. Al-Bukhari)
Sementara itu shahabat Anas bin Malik Radhiallaahu anhu juga pernah meriwayatkan ketika putra Rasulullah Ibrahim akan meninggal, ia datang menemui Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam sedangkan Ibrahim nafasnya sudah terengah-engah, maka kedua mata beliaupun berlinang air mata.
Dalam riwayat lain disebutkan beliau mengambilnya dan meletakkannya di atas pangkuan sambil berkata: “Wahai anakku! Aku tidak memiliki hak kuasa apapun yang dapat kuberikan kepadamu di sisi Allah”. Melihat Nabi menangis Abdurrahman bin Auf dan Anas radhialallhuanhu lalu bertanya: “Wahai Rasulullah mengapa Anda menangis? Bukankah Anda telah melarang menangis?’ Beliau menjawab : “Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya tangisan itu adalah rahmat, dan barangsiapa tidak memiliki kasih sayang maka ia tidak mendapatkan kasih sayang”, kemudian beliau melanjutkan sabdanya: “Sesungguhnya mata bisa berlinang, hati juga bisa berduka namun kita hanya bisa mengucapkan yang diridhai Rabb kita. Wahai Ibrahim, sungguh kami sangat bermuram durja karena berpisah denganmu.” (HR. Al-Bukhari dan Mus-lim)
Dalam riwayat lain Anas menutur-kan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda, artinya : “Zaid mengambil panji peperangan kaum muslimin kemudian ia terbunuh, lalu panji diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah dan iapun terbunuh, kemudian diambil alih lagi oleh Ja’far dan ia juga terbunuh.” Kedua mata Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam berlinang air mata. Setelah itu panji diambil alih oleh Khalid bin Walid tanpa adanya penyerahan sebelumnya, namun melalui tangannya Allah Subhannahu wa Ta’ala memberi kemenangan.” (HR Al Bukhari).
Dalam riwayat Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu disebutkan bahwa ketika Zainab putri Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam wafat maka sebagian kaum wanita ada yang menangis, maka ketika Umar Radhiallaahu anhu mau memukul para wanita itu dengan cemetinya, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mencegahnya kemudian beliau bersabda, artinya: “Sabar wahai Umar! Kemudian kalian semua para wanita hendaklah berhati-hati terhadap teriakan setan!” Beliau lalu melanjutkan sabda-nya, artinya: “Apabila hanya berasal dari mata dan hati maka itu dari Allah dan merupakan rahmat, namun jika itu dari tangan dan mulut maka ia dari setan.” (HR. Ahmad)
Aisyah Radhiallaahu anha pernah meriwayatkan bahwa ketika Sa’ad bin Muadz meninggal, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam , Abu Bakar dan Umar melayatnya. Aisyah berkata: “Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku bisa membedakan antara tangisan Abu Bakar dengan tangisan Umar sementara aku berada di kamarku.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad).
Ada riwayat lain tentang kisah meninggalnya putra Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam yang bernama Ibrahim, yakni sebagaimana disampaikan oleh Asma’ binti Yazid Radhiallaahu anha, dia bercerita: “Ketika Ibrahim putra Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam wafat, beliau menangis. Kemudian Abu bakar -atau mungkin Umar- bertanya: “Wahai Rasulullah, Engkau adalah orang yang paling berhak untuk dimuliakan haknya oleh Allah.” Maka beliau bersabda: “Mata bisa menangis, hati boleh bersedih, namun kita hanya mengucapkan yang diridhai Ilahi. Kalaulah bukan janji yang benar, tempat kembali yang sempurna dan akherat yang pasti datang setelah berlalunya dunia, pasti kami sudah mendapatkan hal yang paling berat dengan kepergianmu. Sungguh kami amat berduka karenamu.” (HR. Ibnu Majah)
Dalil-dalil di atas merupakan alasan bagi mereka yang membolehkan menangis atas orang yang akan meninggal maupun yang telah meninggal. Demikian pendapat madzhab Ahmad bin Hambal dan Abu Hanifah. Sedangkan Imam Syafi’i dan banyak kalangan shahabat melarang menangisi mayit setelah meninggalnya, dan membolehkan menangis ketika belum meninggal.
Alasan yang digunakan adalah riwayat Jabir bin Atik Radhiallaahu anhu, ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menjenguk Abdullah bin Tsabit Radhiallaahu anhu beliau mendapatinya sudah hampir meninggal dunia. Rasulullah memanggilnya namun Abdullah sudah tidak menjawab lagi, kemudian beliau mengucap istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) seraya bersabda, artinya: “Kami terlambat mendatangimu wahai Abu Rabi.” Maka kalangan wanitapun menangis, dan Ibnu Atik berusaha untuk mendiamkan mereka, namun Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, artinya: “Biarkan saja mereka. Apabila datang kepastian maka janganlah ada yang menangis lagi.” Ibnu Atik bertanya: “Apa kepastian itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kematian” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, hadits ini sesuai lafazh Abu Dawud).
Ini menujukkan larangan menangisi orang yang telah meninggal dan kebolehannya sebelun meninggal. Larangan tersebut diperkuat dengan hadits shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah Ibnu Umar Rasulullah Shalallahu’alahi wassalam bersabda: “Sesungguhnya orang meninggal akan tersiksa oleh tangisan keluarganya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kata al-mayit di sini menunjukkan bahwa ia telah meninggal dunia karena orang yang belum meninggal tidak bisa dikatakan sebagai mayit. Selain itu Ibnu Umar Radhiallaahu anhu juga meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam datang dari Uhud pernah mendengar kalangan wanita dari Bani Asyhal menangisi orang yang meninggal, maka beliau bersabda: “Tetapi Hamzah tidak ada yang menangisinya.” Maka datanglah kalangan wanita dari Al-Anshar lalu menangisi Hamzah di sisi Nabi. Maka Rasulullah bangkit dan bersabda, artinya: “Celaka mereka, mengapa mereka menangis di sini, sungguh mereka telah membikin susah diri sendiri. Suruh mereka semua pulang kemudian janganlah mereka menangisi orang yang meninggal setelah hari ini.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Bagaimana kita menyikapi masalah ini?Kedua pendapat di atas sama-sama menyampaikan dalil dan alasan yang shahih, oleh karena itu kita tetap harus menerimanya tanpa menyalahkan pihak manapun. Mereka adalah para imam mujtahid yang sudah diakui kredibilitasnya. Yang terpenting kita bisa me-nempatkan masalah ini sesuai porsinya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya menangisi orang yang meninggal tidaklah mengapa baik itu sebelum meninggal maupun setelahnya dengan syarat bahwa tangisan tersebut masih dalam batas-batas yang dibolehkan oleh syariat.
Yaitu tidak disertai dengan teriakan-teriakan atau raungan, ratapan, memukul wajah, merobek pakaian dan sikap-sikap lain yang disebut oleh Nabi berasal dari syetan. Ia hanya sekedar ungkapan rasa sedih dalam hati kemudian diiringi tetesan air mata atau isakan yang tidak ada unsur tidak ridha atau menolak takdir Allah. Adapun dalil tentang larangan menangis yang dikemukakan kita pahami sebagai larangan dari tangisan yang disertai ratapan serta sikap-sikap sebagaimana yang telah disebutkan. Hal ini juga diperkuat dengan riwayat lain yang menyebutkan bahwa sesungguhnya mayit itu akan tersiksa disebabkan ratapan keluarganya , di samping yang menggunakan lafazh tangisan.
Hanya saja perlu dicatat bahwa kesedihan itu tidaklah diperintahkan meski dibolehkan dan jika kesedihan itu menjurus kepada kelemahan hati dan menjauhkan dari melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya maka ia adalah tercela. Sebaliknya jika kesedihan itu diiringi dengan perbuatan-perbuatan terpuji yang mengandung pahala maka ia menjadi perbuatan terpuji, hanya saja pahala tersebut bukan disebabkan kesedihan itu namun karena perbuatan baik yang ia kerjakan.
Dalam banyak ayat Allah menyuruh kita agar jangan bersedih seperti dalam firman-Nya,artinya: “Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya).” (Ali Imran: 139). Dan masih banyak ayat-ayat lain yang senada dengan ayat di atas. Wallahu a’lam.
(Rujukan: Hiburan bagi orang yang tertimpa musibah, Darul Haq [Fatkur Isma’il])
ABgroup Corporate
http://www.asikinbusiness.blogspot.com/ http://www.mypulsa-abgroup.blogspot.com/ http://www.kaligrafikuningan.blogspot.com/http://www.jilbab-abgroup.blogspot.com/ http://www.1st-abgroup.blogspot.com/ http://www.nida-collection.blogspot.com/ http://www.1st-WeddingInfo.blogspot.com/
http://www.asikinbusiness.blogspot.com/ http://www.mypulsa-abgroup.blogspot.com/ http://www.kaligrafikuningan.blogspot.com/http://www.jilbab-abgroup.blogspot.com/ http://www.1st-abgroup.blogspot.com/ http://www.nida-collection.blogspot.com/ http://www.1st-WeddingInfo.blogspot.com/
Label: Fiqih dan Syariah, Kajian Islam
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar